Selasa, 17 Februari 2015

artikel

MENGUAK “INTELEGENCE” ANAK DIDIK
(Pendekatan Ta’lim al Muta’allim)
Oleh: Achmad Quzairi, S.Pd.
Kosakata kecerdasan akrab di telinga semua orang yang berkepentingan atas pendidikan. Kecerdasan menjadi kunci memaknakan keberhasilan pendidikan, meski belum tentu arah kecerdasan yang dimaksud. Beberapa decade ke belakang, kecerdasan pada seseorang lebih diarahkan pada kemampuan berfikir untuk hal-hal yang bersifat material. Dalam Al Qur an sendiri, pendidikan akan menjadikan seorang anak sebagai penghias mata (qurrah al-ain) dan menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa (lil muttaqin imama). Kualitas estetik dan ketaqwaan ini, berdimensi social-transendental. Dalam bahasa popular manajemen kecerdasan mutakhir terdidi dari; kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan emosional (EQ), dan kecerdasan spiritual (SQ).
Dalam konteks itu, penulis punya catatan tersendiri atas kecenderungan prestasi yang diraih oleh seorang anak didik, yang sering diukur dengan nilai raport yang formalistik. Bila warna merah mendominasinya, maka mereka diposisikan gagal. Padahal nilai-nilai raport hanya representasi dari kecerdasan intelektual (Intelektual Quotient, IQ). Sementara kecerdasan emosional (Emotional Quotient, EQ) dan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient, EQ) kurang mendapat perhatian dalam nilai raport yang selama ini ada.
Kalaupun ada, kita mendapatinya beberapa koom dengan ukuran a, b, dan c, yang menurut hemat penulis tidak cukup memdai untuk merepresentasikan dua kecerdasan itu, padahal kedua macam kecerdasan itu sudah ada benihnya dalam setiap anak didik. Menumbukan keduanya merupakan target strategis bagi setiap penyelenggara pendidikan.
Potensi Kecerdasan
Kecerdasan intelektual (IQ), dibangun lewat nalar salah – benar ketika menyikapi segala sesuatu di luar diri anak didik. Ini tidak terlalu berpengaruh dalam menciptakan sosok pribadi yang paripurna. Tapi harus dilengkapi dengan rasa “enak dan tidak enak” dalam prilaku social sebagai representasi dari kecerdasan emosional (EQ) dan kondisi “tenang – gundah” sebagai manifestasi kecerdasan spiritual (SQ) yang bersifat transcendental. Kecuali itu, nalar salah – benar cenderung melakuakan proses “dehumanisasi” pada diri anak didik. Mereka terpaksa memandang diri dan lingkungannya sesuai tolok ukur yang mekanik. Sementara perasaan dan keyakinan desembunyikan dalam dirinya. Mereka dejejali dengan kepribadian artificial yang satu saat akan merugikan sisi kemanusiaan itu sendiri. Menjadi sukses ditakar dengan dret ukur, tidak peduli sisi emosi dan spiritual anak ketika ada dalam lingkungannya.
Aktualisasi potensi IQ, EQ, dan SQ, akan membawa implikasi yang snagat besar pada anak didik dalam cara berfikir dan bersikap. Mendidik bukan saja menjadikan seseorang menjadi “rasional”, tetapi lebih menjadikannya bersikap “irrasional”. Karena terdapat potensi besar dalam diri setiap individu. Tidak hanya menyangkut hubungan – hubungan social antar manusia, tetapi juga hubungan – hubungan transcendental yang bersifat emosional – spiritual.
Memaknakan eksistensi emosional – spiritual bagi anak didik sedianya menjadi agenda pentukgn bagi para penyelenggara pendidikan. Pendidikan, kecuali bertujuan membentuk kecerdasan intelektual, juga membentuk pribadi anak didik yang peka akan eksistensi emosional – spiritualnya. Pendidikan yang terlalu memntingkian kecerdasan intelektual mereduksi hakikat kemanusiaan itu sendiri; sebagai mahkluk social dan emosional – spiritual sekaligus, lalau bagaimana menumbuhkan kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) tersebut? Pertanyaan ini berimplikasi pada; (1) aktualisasi kurikulum yang berlaku, (2) peran seorang guru, (3) peran orang tua, dan (4) lingkungan di sekeliling anak didik. Semuaya harus diperankan secara integrative, baik kuritu oleh didi anak didik sendiri atau pihak di luar anak didi.
Kurikum berbasis kompetensi yang belakangan marak depergunakan di sekoah – sekolah, sedianya decermati secara jeli. Kalau saja jatah untuk mengelola ketiga potensi kecerdasan anak (IQ, EQ, SQ) tidak deberikan secara proporsional, maka hasil yang didapatkan akan berbanding lurus dengan prosentase itu. Jika ia hanya beda dalam “cara mengajar” bukan pada “apa yang diajarkan”, maka aktualisasi kurikulum mutlak dilakukan. Upaya itu, tidak perlu ditakuti sebagai yang “melanggar” ketentuan pengajaran yang disepakati bersama. Otonomi tiap penyelenggara pendidikan terlihat signifikansinya, ketika “kurikulum resmi” terkesan dikramatkan yang pada gilirannya mengorbankan out put tiga kecerdasan anak didik itu sendiri. Kurikulum sedianya diaktualisasikan dalam bentuk turunan rogram pengajaran yang sesuai dengan konteks ruang dan waktu di mana proses belajar – belajar dilakukan.
Penyelenggara pendidikan harus berani menanggung resiko coba dan salah dalam proses belajar – mengajar. Kalau perlu tiap semester, tutunan program pengajarn itu mengalami perubahan secara signifikan. Pendidikan harusnya ditempatkan sebagai proses yang terus berjalan (on going process) mengiringi perubahan ruang dan waktu itu sendiri. Dan ia tidak dianggap sebagai sesuatu ayng konstan dan kaku. Selai itu, peran guru yang selama ini dianggap “sentral” oleh sebagian besar pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan, harus segera dijernihkan. Guru kerap kali diposisikan tidak proporsional, hingga tidak focus menjalankan fungsi dasarnya sendiri. Ketika anak didik berada di sekolah, memang sepenuhnya menjadi tanggungan seorang guru. Tapi tatkala anak didik berada di luar sekolah, pranannya diambil alih oleh pihak selain guru.
Pendidikan adalah system yang membutuhkan peranan semau pihak; baik itu guru, orang tua, dan lingkungannya. Seorang guru hanya berperan sekitar 25 % dari aktifitas anak didik manakala dititipkan di sekolah. Selebihnya pihak orang tua dan lingkungannya, megang pernan penting. Separuh lebih proses belajar – mengajar, sebenarnya dapat diperankan secara efektif oleh para orang tua dan lingkungannya itu.
Kapitalisasi Pendidikan
Adalah kapitalisasi pendidikan yang menjadi musuh dari integrasi peran guru, orang tua, dan lingkungannya dalam meraih kecerdasan paripurna setap anak didik. Sejak disusupi ideology kapitalisme, “peran sentral” seorang guru semakin dikambinghitamkan dalam kegagalan mendidik seorang anak. Maaf, “guru kencing berdiri murid kencing berlari”, kerapkali dijadikan pameo dalam dunia pendidikan. Padahal tidak mustahil, prilaku orang tua dan lingkungannya juga akan ditiru oleh setiap anak didik. Dengan telah membayar sejumlah uang, orang tua dan lingkungannya telah menempatkan anak didik seperti kendaraan yang dititipkan pada sebuah bengkel. Tragisnya, kalau pun berhasil hanya ditakar dengan tolok ukur formalistik, yakni kecerdasan intelektual (IQ) saja. Orang tua dan lingkungannya akan merasa tidak lagi rugi kalau saja nilai raportnya tidak dilumuri warna merah tanpa mau peduli pada sisi emosionalnya – spiritual anaknya. Hal ini lebih desebabkan oleh pandangan untung – rugi seperti transaksi jual – beli, dengan kepuasan pada kecerdasan intelektual (IQ) anak didiknya. Menitipkan anak didik dianggap layak dengan ukuran material, bukan dengan rasa saling memiliki dan transendensi proses belajar – mengajar anak didik. Karenanya kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ) yang diidamkan, terlewatkan dalam iklim pendidikan yang bersifat kontraktual sebagai buah dari kapitalisasi pendidikan tersebut.
Inilah yang dapat kit abaca pada kapitalisasi pendidikan dewasa ini. Pendidikan dengan cepat menjadi barang dagangan yang menggiurkan bagi banyak oran. Motifnya lebih disebabkan mencari keuntungan material sebanyak – banyaknya dari “bisnis pendidikan” tanpa ambil pusing untuk apa pendidikan itu sendiri. Pendidikan di Negara kita, memang masih jauh untuk diselenggarakan “gratisan” bagi warganya. Meski Mahkamah Konstitusi telah menggugurkan peraturan perundang – undangan yang memberikan dana pendidikan kurang dari 20%; seperti ketentuan Undang–Undang Dasar 1945. Namun alokasi itupun, hemat penulis belum cikup untuk menyelesaikan problem profesionalisasi pendidikan di negeri ini.
Walhasil, persepsi keliru atas dinia pendidikan, sedianya jadi pelajaran penting bagi orang tua dan lingkungannya. Tanggung jawab pedidikan itu tidak hanya debebankan pada pundak seorang guru. Tapi dialamatkan juga pada peranan orang tua dan lingkungannya itu sendiri. Jika ini bias dimulai, kecerdasan paripurna tidak lama lagi bersemayam dalam diri anak didik kita. WA ALLAH A’LAM.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar